Senin, 26 Februari 2018

Historiografi Kolonial


Historiografi Kolonial adalah karya  sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis  pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia. Contoh karya historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh Raffles dengan judul History of Java. Karya lainnya adalah karya-karya yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah Indonesia). Karya B.H.M. Vleke dengan judul: Geschiedenis van den IndischenArchipel (Sejarah Nusantara). Karya G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener aconomische Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda).
Inti cerita sejarah dari Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya Belandalah yang dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya sebagai yang dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa Indonesia hanya mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak dipandang sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi Belanda.
Perhatikan  penggalan kutipan kisah sejarah di bawah ini yang ditulis oleh sejarawan kolonial dalam Historiografi Kolonial yang sangat menyudutkan bangsa Indonesia dan mengagung-agungkan bangsa Belanda:
Pada tahun 1653 ada seorang raja di Tanah Goa yang bernama Sultan Hasanudin. Adapun raja itu tiada mengindahkan Kompeni; orang Maluku yang durhaka kepada Kompeni dibantunya; tambahan lagi diperanginya Sultan Buton yang bersahabat dengan Belanda”.
“Sultan Agung Tirtayasa itu cerdik lagi bijaksana dan tetap hatinya, rukun Islam dikerjakannya dengan sungguh-sungguh, tetapi kelakuannya kerapkali bengis dan hatinya tiada lurus; se-umur hidupnya Sultan itu dengki kepada Kompeni; niatnya hendak meramaikan Banten serta membinasakan Betawi”.
“Jikalau kita bandingkan hal orang kecil pada zaman dahulu dengan zaman yang sekarang, nyatalah bahwa sekarang lebih senang dan selamat daripada ketika kuasa Raja-raja tiada berhingga; Raja itu kerapkali menganiaya anak buahnya, karena tiada undang-undang, hanya hawa nafsu raja”.

2.1. Karakteristik Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial karakteristiknya bersifat Belanda Sentrisme atau Neerlandoentris artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di Nusantara Indonesia saat itu. Dengan demikian, dalam historiografi kolonial peran orang-orang Belanda dalam panggung sejarah ditulis secara berlebihan, dan penduduk bumi putra peran kesejarahannya ditulis/diungkapkan hanya sedikit saja. Bahkan warga penduduk bumi putera oleh Belanda dipandang sebagai non-faktor dalam sejarah. Sebagai contoh, dalam sejarah perekonomian dan politik pada masa kolonial, orang-orang Belanda ditulis sebagai manusia-manusia unggul yang bisa mengendalikan sektor usaha ekonomi dan politik di Nusantara Indonesia. Orang-orang Belanda dianggap sebagai manusia paling sempurna, paling super dalam berbagai aktivitas kehidupan di Nusantara Indonesia. Sehingga peran mereka ditulis dalam Historiografi Kolonial bisa menghabiskan halaman berlembar-lembar. Sungguh sangat ironis, sedangkan peran rakyat pribumi sebagai pemilik negeri Nusantara Indonesia ditulis sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman tulisan yang sangat minim. Sejarawan kolonial menganggap, bahwa rakyat pribumi dianggap sebagai manusia non-faktor dalam sejarah. Perhatikan secara seksama sifat cerita sejarah Indonesia yang dilukiskan oleh penulis Belanda bernama Dr. F.W. Stafel yang bisa dilihat dari jumlah halaman buku pegangan Sejarah Hindia Belanda sebagai berikut:
1.      Zaman Purbakala dan Hindu ditulis                                                             25 halaman
2.      Penyiaran Islam dan bangsa Portugis di Indonesia                                     8 halaman
3.      VOC (kongsi dagang Belanda)                                                    152 halaman
4.      Pemerintah Belanda                                                                     150 halaman
                                                                                 Jumlah =   335 halaman
      Alhasil dapat ditegaskan, bahwa cerita sejarah Indonesia yang ditulis sebelum tahun 1942 pada dasarnya bukan Sejarah Indonesia, tetapi sejarah Belanda di Indonesia.                     
Dalam historiografi kolonial, tokoh-tokoh seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Agung, Sukarno, Hatta, Wahidin, Bung Tomo dan tokoh pejuang lainnya dipandang sebagai penghianat dan sebagai pemberontak. Padahal kalau menurut kita, tokoh-tokoh seperti tersebut termaksud di atas  adalah sebagai pahlawan nasional yang telah berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia.
Bagaimanapun keberadaan Historiografi Kolonial ini sangat membahayakan, terutama kalau karya tersebut dibaca oleh anak didik kita yang ada di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sederajat; Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat; Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Mengapa Historiografi Kolonial dikatakan membahayakan? Karena wawasan pemahaman kesejarahan mereka (anak didik) dipandang masih dangkal. Tidaklah berlebihan kalau mereka  akan menganggap, bahwa pejabat-pejabat kolonial itu sebagai pahlawannya, dan para pejuang bumi putra dipandang sebagai pemberontak, pengecut. Padahal mereka sebagai pejuang yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Ringkasnya, dalam Historiografi Kolonial, fakta-fakta kesejarahan yang terkait dengan rakyat bumi putra atau elite bumi putra, dengan sengaja diputar balikan, tujuannya guna menyudutkan posisi warga penduduk bumi putra, dan dibalik itu semua pihak kolonial Belanda mengambil keuntungan-keuntungan psikologis, ekonomis, dan politis. Tapi jangan salah, warga pribumi yang suka menjilat kepada Belanda, mereka mendapat tempat dalam sejarah, dan secara finansial mereka hidup diuntungkan dalam berbagai kesempatan.
Timbul suatu pertanyaan, apakah historigrafi kolonial bisa dijadikan sumber untuk penulisan sejarah nasional dewasa ini? Jawabnya bisa. Alasannya, karena Historigrafi Kolonial di dalamnya kaya dengan fakta-fakta kesejarahan yang terjadi di bumi Nusantara Indonesia.

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar