Rabu, 04 April 2018

IKAN ENDEMIK SUNGAI CITARUM


Ikan endemik merupakan spesies asli yang hanya bisa ditemukan ditempat tertentu dan tidak ditemukan di wilayah lain. Berikut jenis ikan endemik yang ditemukan di Sungai Citarum, antara lain ;

1.       Ikan Hampal (Hampala macrolepidota)
2.       Ikan Lalawak (Barbodes bramoides)
3.       Ikan Beunteur (Puntius binotatus)
4.       Ikan Tagih (Mystius nemurus)
5.       Ikan Kebogerang (Mystius negriceps)
6.       Ikan Lais ( Lais hexanema)
7.       Ikan Lempuk (Callichrous bimaculatus)
8.       Ikan Lele (Clarias bratachus)
9.       Ikan Gabus (Channa striatus)

*)Sumber : Pikiran Rakyat, Sabtu 14 Oktober 2017




Selasa, 03 April 2018

Pertempuran Medan Area


Pada tanggal 9 Nopember 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara yang diikuti oleh pasukan NICA. Insiden pertama terjadi tanggal 13 oktober 1945 di Jalan Bali, Medan. Insiden itu berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-nginjak lencana Merah Putih.
Pada tanggal 18 oktober 1945, Brigadir Jenderal T.E.D Kelly member ultimatum agar para pemuda Medan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Tanggal 10 Desember 1945, mereka berusaha menghancurkan konsenterasi TKR di Trepes. Pada bulan April 1946 tentara Sekutu Inggris sudah mulai mendesak Pemerintah Republik Indonesia di Medan.
Pada tanggal 10 Agustus 1946, diselenggarakan pertemuan di Tebing Tinggi antara para komando pasukan yang berjuang di Medan yag memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.

Pertempuran Ambarawa



Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 Nopember 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran itu terjadi antara pasukan TKR bersama rakyat Indonesia melawan pasukan Sekutu-Inggris. Peristiwa itu berlatar belakang insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke 23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Akan tetapi, kedatangan pasukan Sekutu-Inggris diikuti oleh orang-orang NICA. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di kota Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan gabungan Sekutu-Inggris dan NICA.
Pihak sekutu ternyata mengingkari janjinya. Pada tanggal 20 Nopember 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 Nopember 1945, pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampong-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Dari arah MAgelang pasukan TKR dari Divisi V / Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 Nopember 1945 dan berhasil menduduki desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya yang sebelumnya diduduki Sekutu.
Pada tanggal 15 Desember 1945, musuh meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.

Pertempuran Surabaya (10 November 1945)


Usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 september 1945. Pada tanggal 25 oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Dengan tujuan melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby berhasil mencapai suatu kesepakatan yaitu :
1.       Inggris berjanji bahwa di antara mereka tidak terdapat ngkatan perang Belanda.
2.      Disetujuinya kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
3.      Akan segera dibentuk kontak biro sehingga kerja sama dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. 
4.      Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Pihak Inggris boleh memasuki kota, tetapi dengan syarat bahwa hanya objek-objek yang sesuai dengan tugasnya saja yang dapat diduduki. Namun pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 oktober 1945 malam harinya satu peleton pasukan Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shauw melakukan penyerangan ke Penjaa Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00 pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tangan Jepang. Pada tanggal 27 oktober 1945, terjadikontak senjat yang pertama antara Indonesia dengan pasukan Inggris. Pasukan sekutu dapat dipukul mundur dan bahakan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Pada tanggal 30 oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifudin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai. Tetapi setelah Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifudin beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi dan menyebabkan terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.
Pasukan Inggris kemudian mendatangkan bala bantuan dari Divisi V dipimpin Mayor Jenderal Mansergh dengan 24.000 orang anak buahnya mendarat di Surabaya. Tanggal 9 Nopember 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara, apabila orang-orang Indonesia tidak menaati ultimatum itu. Ultimatum itu ternyata tidak ditaati. Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran yang sangat dahsyat.


dari berbagai sumber

Senin, 26 Februari 2018

Karateristik Historiografi Nasional/Modern


Historiografi Nasional karakteristiknya bersipat Indonesia Sentrisme, artinya bahwa  Sejarah Nasional Indonesia (SNI)  harus ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia itu sendiri. Tugas dari historiografi nasional adalah“membongkar dan merevisi”  historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan sikap mental bangsa   (terutama generasi muda) Indonesia dewasa ini.
Permasalahan yang kita hadapi dewasa ini adalah, mampukah kita (sejarawan) atau bangsa Indonesia untuk menulis kembali sejarah yang betul-betul  mengungkapkan aktivitas rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagai pengganti peran orang-orang Belanda yang telah demikian lama menghiasi lembaran-lembaran  penulisan sejarah Indonesia. Dewasa ini kita harus mampu menulis karya sejarah yang total history artinya seluruh aktivitas rakyat Nusantara Indonesia, terutama pada masa kolonial harus terungkapkan. Dalam hal ini misalnya aktivitas masyarakat petani, nelayan, buruh tani, kuli, pedagang, santri dan lain sebagainya harus ditulis kembali.
Tentu saja, untuk menulis sejarah Indonesia yang bergaya total history ada konsekwensi harus menerapkan pendekatan metodologi yang lebih mutakhir, sebab pendekatan metode yang konvensional  tidak akan mampu membongkar secara totalitas dari aktivitas rakyat Indonesia di masa kolonial yang sangat komplektitas itu. Dengan demikian,  pendekatan metode apakah yang dianggap dapat diandalkan untuk mewujudkan karya historiografi yang total history itu?
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, guru besar sejarah dari Universitas Gajah Mada(UGM) menawarkan sebuah konsep, yakni pendekatan metodologis interdisiplinerapproach and multidimensional approach. Sebetulnya model pendekatan seperti tersebut di atas sudah mulai ditempuh di Perancis yang terutama dipelopori oleh mereka para sejarawan dari aliran analles. Disebut aliran analles, karena karya-karya mereka terbit dan dimuat dalam majalah yang bernama analles, dengan tokohnya diantaranya Marc Blok. Masalah pendekatan metodologis yang interdisipliner dan multidimensional. Salah satu karya histirografi modern Pemberontakan Petani Banten 1888 Karya Sartono Kartodirdjo.


Historiografi Nasional/Modern


Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir.Sukarno dan Drs.Muhammad Hatta atas nama rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebagai konsekuensi logis dari proklamasi kemerdekaan ini, maka lahirlah suatu negara yang merdeka dan berdaulat yang kemudian diberi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah NKRI terbentuk, maka tumbuh suatu keinginan dari rakyat Indonesia untuk menulis sejarahnya sendiri sebagai pengganti dari Historiografi Kolonil. Karya-karya sejarah yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan Indonesia di masa kemerdekaan dewasa ini (1945-2011), biasa disebut sebagai Historiografi Nasional. Historiografi
Nasional adalah karya tulis sejarah yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan Indonesia yang di dalamnya (kandungan isi ceritanya/kisahnya) banyak mengungkapkan sisi-sisi kehidupan rakyat Indoneia sepanjang masa yang diungkapkan dari sudut kepentingan pembangunan bangsa Indonesia itu sendiri. Contoh Historiografi Nasional yang paling monumental adalah buku babon SEJARAH NASIONAL INDONESIA yang terdiri dari VII Jilid. Karya Tan Malaka antara lain: Dari Penjara ke Penjara, Komunisme di Jawa (1922),Kuli Kontrak (1923), Naar de Republiek (1925) dan Madilog ;

Historiografi Kolonial


Historiografi Kolonial adalah karya  sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis  pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia. Contoh karya historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh Raffles dengan judul History of Java. Karya lainnya adalah karya-karya yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah Indonesia). Karya B.H.M. Vleke dengan judul: Geschiedenis van den IndischenArchipel (Sejarah Nusantara). Karya G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener aconomische Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda).
Inti cerita sejarah dari Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya Belandalah yang dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya sebagai yang dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa Indonesia hanya mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak dipandang sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi Belanda.
Perhatikan  penggalan kutipan kisah sejarah di bawah ini yang ditulis oleh sejarawan kolonial dalam Historiografi Kolonial yang sangat menyudutkan bangsa Indonesia dan mengagung-agungkan bangsa Belanda:
Pada tahun 1653 ada seorang raja di Tanah Goa yang bernama Sultan Hasanudin. Adapun raja itu tiada mengindahkan Kompeni; orang Maluku yang durhaka kepada Kompeni dibantunya; tambahan lagi diperanginya Sultan Buton yang bersahabat dengan Belanda”.
“Sultan Agung Tirtayasa itu cerdik lagi bijaksana dan tetap hatinya, rukun Islam dikerjakannya dengan sungguh-sungguh, tetapi kelakuannya kerapkali bengis dan hatinya tiada lurus; se-umur hidupnya Sultan itu dengki kepada Kompeni; niatnya hendak meramaikan Banten serta membinasakan Betawi”.
“Jikalau kita bandingkan hal orang kecil pada zaman dahulu dengan zaman yang sekarang, nyatalah bahwa sekarang lebih senang dan selamat daripada ketika kuasa Raja-raja tiada berhingga; Raja itu kerapkali menganiaya anak buahnya, karena tiada undang-undang, hanya hawa nafsu raja”.

2.1. Karakteristik Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial karakteristiknya bersifat Belanda Sentrisme atau Neerlandoentris artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di Nusantara Indonesia saat itu. Dengan demikian, dalam historiografi kolonial peran orang-orang Belanda dalam panggung sejarah ditulis secara berlebihan, dan penduduk bumi putra peran kesejarahannya ditulis/diungkapkan hanya sedikit saja. Bahkan warga penduduk bumi putera oleh Belanda dipandang sebagai non-faktor dalam sejarah. Sebagai contoh, dalam sejarah perekonomian dan politik pada masa kolonial, orang-orang Belanda ditulis sebagai manusia-manusia unggul yang bisa mengendalikan sektor usaha ekonomi dan politik di Nusantara Indonesia. Orang-orang Belanda dianggap sebagai manusia paling sempurna, paling super dalam berbagai aktivitas kehidupan di Nusantara Indonesia. Sehingga peran mereka ditulis dalam Historiografi Kolonial bisa menghabiskan halaman berlembar-lembar. Sungguh sangat ironis, sedangkan peran rakyat pribumi sebagai pemilik negeri Nusantara Indonesia ditulis sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman tulisan yang sangat minim. Sejarawan kolonial menganggap, bahwa rakyat pribumi dianggap sebagai manusia non-faktor dalam sejarah. Perhatikan secara seksama sifat cerita sejarah Indonesia yang dilukiskan oleh penulis Belanda bernama Dr. F.W. Stafel yang bisa dilihat dari jumlah halaman buku pegangan Sejarah Hindia Belanda sebagai berikut:
1.      Zaman Purbakala dan Hindu ditulis                                                             25 halaman
2.      Penyiaran Islam dan bangsa Portugis di Indonesia                                     8 halaman
3.      VOC (kongsi dagang Belanda)                                                    152 halaman
4.      Pemerintah Belanda                                                                     150 halaman
                                                                                 Jumlah =   335 halaman
      Alhasil dapat ditegaskan, bahwa cerita sejarah Indonesia yang ditulis sebelum tahun 1942 pada dasarnya bukan Sejarah Indonesia, tetapi sejarah Belanda di Indonesia.                     
Dalam historiografi kolonial, tokoh-tokoh seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Agung, Sukarno, Hatta, Wahidin, Bung Tomo dan tokoh pejuang lainnya dipandang sebagai penghianat dan sebagai pemberontak. Padahal kalau menurut kita, tokoh-tokoh seperti tersebut termaksud di atas  adalah sebagai pahlawan nasional yang telah berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia.
Bagaimanapun keberadaan Historiografi Kolonial ini sangat membahayakan, terutama kalau karya tersebut dibaca oleh anak didik kita yang ada di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sederajat; Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat; Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Mengapa Historiografi Kolonial dikatakan membahayakan? Karena wawasan pemahaman kesejarahan mereka (anak didik) dipandang masih dangkal. Tidaklah berlebihan kalau mereka  akan menganggap, bahwa pejabat-pejabat kolonial itu sebagai pahlawannya, dan para pejuang bumi putra dipandang sebagai pemberontak, pengecut. Padahal mereka sebagai pejuang yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Ringkasnya, dalam Historiografi Kolonial, fakta-fakta kesejarahan yang terkait dengan rakyat bumi putra atau elite bumi putra, dengan sengaja diputar balikan, tujuannya guna menyudutkan posisi warga penduduk bumi putra, dan dibalik itu semua pihak kolonial Belanda mengambil keuntungan-keuntungan psikologis, ekonomis, dan politis. Tapi jangan salah, warga pribumi yang suka menjilat kepada Belanda, mereka mendapat tempat dalam sejarah, dan secara finansial mereka hidup diuntungkan dalam berbagai kesempatan.
Timbul suatu pertanyaan, apakah historigrafi kolonial bisa dijadikan sumber untuk penulisan sejarah nasional dewasa ini? Jawabnya bisa. Alasannya, karena Historigrafi Kolonial di dalamnya kaya dengan fakta-fakta kesejarahan yang terjadi di bumi Nusantara Indonesia.

dari berbagai sumber