Senin, 26 Februari 2018

Karakteristik Historiografi Tradisional


Historiografi tradisional bila dibaca isinya sangat subjektif (menyanjung-nyanjung sang raja dan keluarga keraton/istana) dan  penulisannya dicampur aduk dengan mitos, legenda dan kekuatan magis (raja ditulis sebagai orang yang gagah sakti, bisa menghilang, tidak mempan senjata tajam dll) yang melingkupinya pada saat tersebut. Dengan fakta penulisannya yang demikian, seperti tertulis di atas, maka ketika kita membaca historiografi tradisional diperlukan kehati-hatian, ketelitian dalam memaknai setiap rangkaian kata yang menjadi kisah didalamnya. Adapun karakteristik dari historiografi tradisional adalah sebagai berikut :
1.    Istana sentries, artinya karya historiografi tradisional didalamnya banyak mengungkapkan sekitar kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak  mendapat tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap a-historis.
2.      Religio magis, artinya dalam historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia yang memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan energi ghoib. Tujuannya agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya, sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.Cerita Aji Saka dan Bubuksah
3.     Regio sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis lebih menonjolkan regio (wilayah) kekuasaan suatu kerajaan. Sebagai contoh, ada historiografi tradisional dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten dll. 
4.      Etnosentrisme, artinya dalam historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah kerajaan.
5.      Psiko-politis sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat kental dengan muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya historiografi tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.

Dalam batas-batas tertentu apakah historiografi tradisional bisa dijadikan untuk sumber penulisan sejarah ? Jawabnya bisa. Sebab kendatipun dalam kandungan isi dan kisahnya tertulis nama daerah, nama orang dan tahun kejadian. Contoh dalam Babad Galuh, Banten, Cirebon dll, di sana tertulis nama raja atau para tokoh terkait lainnya, dan tentu saja nama wilayah/daerah dan tahun kejadian pun tertulis di dalamnya, kendati angka tahun ditulis dengan candera sengkala. Contoh, kerajaan Majapahit runtuh diungkapkan dengan kata-kata: “sirna ilang kertaning bhumi” artinya tahun 1478 M.
Dengan demikian maka historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu bisa dijadikan sumber untuk penulisan sejarah, dengan alasan ketiga faktor tersebut di atas. Untuk itu, menurut hemat penulis, karya-karya tulis dalam bentuk naskah, babad dan lain-lain yang dewasa ini ada di daerah dan dimiliki oleh tokoh-tokoh tertentu, perlu di-inventarisir, sebab bagaimanapun di dalamnya tersimpan bukti-bukti dan fakta-fakta yang sangat berharga sebagai sumber penulisan sejarah dewasa ini. Harapan penulis, seandainya di daerah di mana anda berdomisili ditemukan ada babad, naskah kuno (HT) dan lain-lain anda harus punya kepedulian untuk melestarikannya. Sebab bagi sejarawan itu bagaikan bongkahan emas yang tak ternilai harganya.


dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar