Historiografi tradisional bila dibaca isinya
sangat subjektif (menyanjung-nyanjung sang raja dan keluarga keraton/istana)
dan penulisannya dicampur aduk dengan mitos, legenda dan kekuatan magis
(raja ditulis sebagai orang yang gagah sakti, bisa menghilang, tidak mempan
senjata tajam dll) yang melingkupinya pada saat tersebut. Dengan fakta
penulisannya yang demikian, seperti tertulis di atas, maka ketika kita membaca
historiografi tradisional diperlukan kehati-hatian, ketelitian dalam memaknai
setiap rangkaian kata yang menjadi kisah didalamnya. Adapun karakteristik dari
historiografi tradisional adalah sebagai berikut :
1. Istana sentries, artinya karya
historiografi tradisional didalamnya banyak mengungkapkan sekitar kehidupan
keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak mendapat
tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap a-historis.
2.
Religio magis, artinya dalam
historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia yang memiliki
kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan energi ghoib. Tujuannya
agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya,
sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan
memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai
perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.Cerita Aji Saka dan Bubuksah
3. Regio sentrisme, artinya historiografi
tradisional ditulis lebih menonjolkan regio (wilayah) kekuasaan suatu kerajaan.
Sebagai contoh, ada historiografi tradisional dengan secara vulgar memakai
judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti Babad Cirebon, Babad Bugis,
Babad Banten dll.
4.
Etnosentrisme, artinya dalam
historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada penonjolan/egoisme
terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah kerajaan.
5.
Psiko-politis sentrisme, artinya
historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat kental dengan
muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya historiografi tradisional
dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka mempertahankan
kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya historiografi tradisional
oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya penuh
dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.
Dalam batas-batas tertentu
apakah historiografi tradisional bisa dijadikan untuk sumber penulisan sejarah
? Jawabnya bisa. Sebab kendatipun dalam kandungan isi dan kisahnya tertulis
nama daerah, nama orang dan tahun kejadian. Contoh dalam Babad Galuh, Banten,
Cirebon dll, di sana tertulis nama raja atau para tokoh terkait lainnya, dan
tentu saja nama wilayah/daerah dan tahun kejadian pun tertulis di dalamnya,
kendati angka tahun ditulis dengan candera sengkala. Contoh, kerajaan Majapahit
runtuh diungkapkan dengan kata-kata: “sirna ilang kertaning bhumi” artinya
tahun 1478 M.
Dengan demikian maka
historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu bisa dijadikan sumber
untuk penulisan sejarah, dengan alasan ketiga faktor tersebut di atas. Untuk
itu, menurut hemat penulis, karya-karya tulis dalam bentuk naskah, babad dan
lain-lain yang dewasa ini ada di daerah dan dimiliki oleh tokoh-tokoh tertentu,
perlu di-inventarisir, sebab bagaimanapun di dalamnya tersimpan bukti-bukti dan
fakta-fakta yang sangat berharga sebagai sumber penulisan sejarah dewasa ini.
Harapan penulis, seandainya di daerah di mana anda berdomisili ditemukan ada
babad, naskah kuno (HT) dan lain-lain anda harus punya kepedulian untuk
melestarikannya. Sebab bagi sejarawan itu bagaikan bongkahan emas yang tak
ternilai harganya.
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar