Historiografi Kolonial adalah
karya sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis pada masa pemerintahan
kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai
masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang
datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang
dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif
menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah
karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika
pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia. Contoh karya
historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh
Raffles dengan judul History of Java.
Karya lainnya adalah karya-karya yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah
Indonesia). Karya B.H.M. Vleke dengan judul: Geschiedenis van den IndischenArchipel (Sejarah Nusantara). Karya
G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener
aconomische Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia
Belanda).
Inti cerita sejarah dari
Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya Belandalah yang
dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia Belanda
atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh
Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya sebagai
yang dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa Indonesia
hanya mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak dipandang
sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi
Belanda.
Perhatikan penggalan
kutipan kisah sejarah di bawah ini yang ditulis oleh sejarawan kolonial dalam
Historiografi Kolonial yang sangat menyudutkan bangsa Indonesia dan
mengagung-agungkan bangsa Belanda:
“Pada tahun
1653 ada seorang raja di Tanah Goa yang bernama Sultan Hasanudin. Adapun raja
itu tiada mengindahkan Kompeni; orang Maluku yang durhaka kepada Kompeni
dibantunya; tambahan lagi diperanginya Sultan Buton yang bersahabat dengan
Belanda”.
“Sultan
Agung Tirtayasa itu cerdik lagi bijaksana dan tetap hatinya, rukun Islam
dikerjakannya dengan sungguh-sungguh, tetapi kelakuannya kerapkali bengis dan
hatinya tiada lurus; se-umur hidupnya Sultan itu dengki kepada Kompeni; niatnya
hendak meramaikan Banten serta membinasakan Betawi”.
“Jikalau
kita bandingkan hal orang kecil pada zaman dahulu dengan zaman yang sekarang,
nyatalah bahwa sekarang lebih senang dan selamat daripada ketika kuasa
Raja-raja tiada berhingga; Raja itu kerapkali menganiaya anak buahnya, karena
tiada undang-undang, hanya hawa nafsu raja”.
2.1. Karakteristik Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial
karakteristiknya bersifat Belanda
Sentrisme atau Neerlandoentris
artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang
Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di Nusantara Indonesia saat itu. Dengan
demikian, dalam historiografi kolonial peran orang-orang Belanda dalam panggung
sejarah ditulis secara berlebihan, dan penduduk bumi putra peran kesejarahannya
ditulis/diungkapkan hanya sedikit saja. Bahkan warga penduduk bumi putera oleh
Belanda dipandang sebagai non-faktor dalam sejarah. Sebagai contoh, dalam
sejarah perekonomian dan politik pada masa kolonial, orang-orang Belanda
ditulis sebagai manusia-manusia unggul yang bisa mengendalikan sektor usaha
ekonomi dan politik di Nusantara Indonesia. Orang-orang Belanda dianggap
sebagai manusia paling sempurna, paling super dalam berbagai aktivitas
kehidupan di Nusantara Indonesia. Sehingga peran mereka ditulis dalam
Historiografi Kolonial bisa menghabiskan halaman berlembar-lembar. Sungguh
sangat ironis, sedangkan peran rakyat pribumi sebagai pemilik negeri Nusantara
Indonesia ditulis sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman tulisan yang
sangat minim. Sejarawan kolonial menganggap, bahwa rakyat pribumi dianggap
sebagai manusia non-faktor dalam sejarah. Perhatikan secara seksama sifat
cerita sejarah Indonesia yang dilukiskan oleh penulis Belanda bernama Dr. F.W.
Stafel yang bisa dilihat dari jumlah halaman buku pegangan Sejarah Hindia
Belanda sebagai berikut:
1. Zaman Purbakala
dan Hindu ditulis
25
halaman
2. Penyiaran Islam
dan bangsa Portugis di Indonesia 8
halaman
3. VOC (kongsi
dagang Belanda)
152 halaman
4. Pemerintah
Belanda
150
halaman
Jumlah = 335 halaman
Alhasil dapat
ditegaskan, bahwa cerita sejarah Indonesia yang ditulis sebelum tahun 1942 pada
dasarnya bukan Sejarah Indonesia, tetapi sejarah Belanda di Indonesia.
Dalam historiografi kolonial,
tokoh-tokoh seperti Imam Bonjol,
Diponegoro, Sultan Agung, Sukarno, Hatta, Wahidin, Bung Tomo dan tokoh pejuang
lainnya dipandang sebagai penghianat dan sebagai pemberontak. Padahal kalau
menurut kita, tokoh-tokoh seperti tersebut termaksud di atas adalah
sebagai pahlawan nasional yang telah berjuang demi kepentingan rakyat
Indonesia.
Bagaimanapun keberadaan
Historiografi Kolonial ini sangat membahayakan, terutama kalau karya tersebut
dibaca oleh anak didik kita yang ada di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD)
dan sederajat; Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat; Sekolah Menengah
Atas (SMA) dan sederajat. Mengapa Historiografi Kolonial dikatakan
membahayakan? Karena wawasan pemahaman kesejarahan mereka (anak didik)
dipandang masih dangkal. Tidaklah berlebihan kalau mereka akan
menganggap, bahwa pejabat-pejabat kolonial itu sebagai pahlawannya, dan para
pejuang bumi putra dipandang sebagai pemberontak, pengecut. Padahal mereka
sebagai pejuang yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Ringkasnya, dalam
Historiografi Kolonial, fakta-fakta kesejarahan yang terkait dengan rakyat bumi
putra atau elite bumi putra, dengan sengaja diputar balikan, tujuannya guna
menyudutkan posisi warga penduduk bumi putra, dan dibalik itu semua pihak
kolonial Belanda mengambil keuntungan-keuntungan psikologis, ekonomis, dan
politis. Tapi jangan salah, warga pribumi yang suka menjilat kepada Belanda,
mereka mendapat tempat dalam sejarah, dan secara finansial mereka hidup diuntungkan
dalam berbagai kesempatan.
Timbul suatu pertanyaan, apakah
historigrafi kolonial bisa dijadikan sumber untuk penulisan sejarah nasional
dewasa ini? Jawabnya bisa. Alasannya, karena Historigrafi Kolonial di dalamnya
kaya dengan fakta-fakta kesejarahan yang terjadi di bumi Nusantara Indonesia.
dari berbagai sumber